Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:
1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf
tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri,
al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam
pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari
saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak
memiliki hak wali.” [2]
Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali
bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga
masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut.
Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus
aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan
apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya
bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika
seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan
sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan
(penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]
Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila
seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.
Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di
atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]
Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu
satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah
berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat
ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,
“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki,
kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya
telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya
kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu
(dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya.
Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak
boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang
baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah
menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan
dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan
saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]
Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia.
Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya
wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis
maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan
sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya
yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama
ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat
al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan
mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik
dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya
nikah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih
tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat
demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat
menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang
telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya
penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya)
tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan
dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir
menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal
itu.” [7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang
menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah).
Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya
bathil (tidak sah).’”[8]
Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk
menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya:
ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki
pamannya…” [9]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali
dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula
selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya
untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah.
Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita
memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”
• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta
perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali
setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis
yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu
bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya
(apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin
membatalkannya). [12]
• Mahar
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.
Mahar (atau diistilahkan dengan mas Kimpoi) adalah hak seorang wanita
yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar
merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya,
baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.
Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan
mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses
pernikahan.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]
‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]
Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar,
maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang
dihafalnya.



Assalamu ‘alaikum Wr Wb.
Posting Komentar