Pada suatu hari di Kantor Urusan
Agama, seorang wanita bersama calon suaminya mendaftarkan permohonan untuk
dicatat pernikahannya, setelah diteliti dan periksa (rafa’) seorang petugas
bertanya “Walinya mana mbak” , Jawab catin Putri, “Di Malaysia Pak” Petugas
Tanya lagi “Nanti waktu aqad Nikah, Walinya pulang atau wali hakim Mbak,”.. Yaa nanti aqad nikahnya pakai telepon khan zaman sudah maju pak “ Oooo gitu
gumam petugas.
Dari
penggalan cerita di atas apabila dilihat dari sisi kepraktisan,
pernikahan via media
komunikasi memang dipandang lebih efektif dan efisien bagi calon pengantin yang berjauhan. Selain dapat menghemat waktu, karena salah satu calon mempelai berada di luar negeri, tentunya juga dapat menghemat biaya transportasi. Disela-sela perkembangan internet dan telepon, lahirlah penemuan baru yang menggabungan antara televisi dan telepon yang disebut Teleconference. Dengan media ini komunikan (orang yang berbicara) dapat menyampaikan pesannya kepada recipient (lawan bicara) tanpa hanya mendengarkan suara (audio) tapi juga bisa melihat fisiknya (visual). Dengan segala bentuk kecanggihan dan fasilitas dari teknologi ini, customer (konsumen) dapat berkomunikasi dengan model apapun yang diinginkan seperti berhadapan langsung, sekaligus menyimpan data-data yang dianggap penting.
komunikasi memang dipandang lebih efektif dan efisien bagi calon pengantin yang berjauhan. Selain dapat menghemat waktu, karena salah satu calon mempelai berada di luar negeri, tentunya juga dapat menghemat biaya transportasi. Disela-sela perkembangan internet dan telepon, lahirlah penemuan baru yang menggabungan antara televisi dan telepon yang disebut Teleconference. Dengan media ini komunikan (orang yang berbicara) dapat menyampaikan pesannya kepada recipient (lawan bicara) tanpa hanya mendengarkan suara (audio) tapi juga bisa melihat fisiknya (visual). Dengan segala bentuk kecanggihan dan fasilitas dari teknologi ini, customer (konsumen) dapat berkomunikasi dengan model apapun yang diinginkan seperti berhadapan langsung, sekaligus menyimpan data-data yang dianggap penting.
Namun dalam sisi lain, internet dan
telepon di Indonesia masih mengalami perdebatan terkait penggunaanya dalam
penyelenggaraan transaski perjanjian, baik yang berupa perdagangan maupun
proses pernikahan . Selain itu alat komunikasi seperti telepon dan lainnya
masih belum cukup kuat untuk dijadikan sebagai alat bukti telah terjadi
perbuatan hukum. Sedangkan dari segi hukum Islam juga terjadi perbedaan hukum
tentang transaksi yang dilakukan melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua
belah pihak. Dalam madzhab Syafi’iyyah sendiri terjadi perbedaan antara Imam
Syafi’i dan para pengikutnya. Menurut pendapat yang shahih transaksi melalui
sepucuk surat tanpa kehadiran kedua belah pihak tidak sah, karena surat saja
tidak cukup kuat sebagai alat bukti telah dilakukannya perbuatan hukum.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akad nikah itu sah dilakukan
dengan surat karena surat adalah Khithab (al-khitab min al-ghaib bi manzilah
al-khitab min al-hadhir) dengan syarat dihadiri dua orang saksi, dan pendapat
ini juga didukung sebagaian ulama Syafi’iyyah. Sementara pendapat Jumhur Ulama’
bahwa nikah adalah sebuah mitsaq ghalizh (tali perjanjian yang kukuh dan kuat)
bertujuan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu
pernikahan harus dihadiri secara langsung oleh kedua belah pihak mempelai, wali
nikah dan dua orang saksi, sehingga tidak dikhawatirkan kedua mempelai akan
mengingkari pelaksanaan pernikahan tersebut.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan. Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i’lan (pemberitahuan) pernikahan kepada halayak umum.
Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan menghukumi pernikahan via telekomference. Sebab pernikahan via telekomference erat sekali hubungannya dengan masalah shighat dan saksi.
Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan. Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i’lan (pemberitahuan) pernikahan kepada halayak umum.
Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan menghukumi pernikahan via telekomference. Sebab pernikahan via telekomference erat sekali hubungannya dengan masalah shighat dan saksi.
Syarat-syarat
Shighat (Ijab Qabul)
Dalam pembahasan masalah ijab qabul, para ulama mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Diucapkan dengan kata-kata tazwij dan inkah, kecuali dari kecuali dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan memakai kata-kata hibbah (pemberian).
2. Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis (satu tempat)
Dalam pembahasan masalah ijab qabul, para ulama mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Diucapkan dengan kata-kata tazwij dan inkah, kecuali dari kecuali dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan memakai kata-kata hibbah (pemberian).
2. Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis (satu tempat)
Pengertian satu majlis oleh jumhur
ulama (mayoritas) difahamkan dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara
fisik. Pendapat ini dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah,
dan mereka juga pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan
Hanafiyyah, beliau memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun
hanya ijab dan qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara
berkontiu. Dari pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui
surat, asalkan surat tersebut dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam
surat segera dijawab oleh pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di
depan saksi dapat dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera
dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat
dianalogkan bahwa pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media
komunikasi seperti internet, teleconference dan faximile.
Sedangkan menurut pendapat yang
shahih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi’iyyah, ijab qabul
tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi
muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul
adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya
transaksi, dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain
itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah
terjadi persengketaan tentang akad tersebut.
Solusi yang ditawaran oleh Syafi’iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi’.
Solusi yang ditawaran oleh Syafi’iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi’.
Syarat-syarat Saksi Pernikahan
Seperti yang telah kami sampaikan di
atas, bahwa Jumhur Ulama sepakat pernikahan tidak sah kecuali dengan hadirnya saksi-saksi.
Kecuali ulama Malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan adanya saksi, namun
pernikahan wajib diumumkan kepada halayak umum. Bagi ulama yang mewajibkan
adanya saksi mensyaratkan sebagai berikut;
1.
Aqil Baligh
2.
Merdeka
3.
Islam
4.
Dapat mendengar dan melihat
Dari empat
syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang akan kita bahas bersama yaitu
syarat mendengar dan melihat. Mendengar dan melihat adalah dua komponen yang
harus bersama-sama. Tidak cukup hanya mendengar suara pihak-pihak tanpa adanya
wujud secara fisik, begitu juga hanya melihat wujud fisik para pihak, namun
tidak mendengar suara ijab qabulnya.
Dari syarat
tersebut, Syafi’iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang dilakukan melalui
pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak melihat fisik para pihak.
Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi terjadinya persengketaan
akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya mendengar suara tanpa
rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu Bakar Syatha, bahwa saksi
harus melihat dan mendengar ijab qabul secara langsung keluar dari mulut para
pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa seorang saksi harus dapat
meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya prasangka, sebab mendengar
suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan suatu keyakinan dalam hati
saksi.
Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan.
Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan.
Dari
pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa, jika yang
hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena adanya
indikasi-indikasi kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang sedang dilihat
dalam telekomference memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan
hukumnya diperbolehkan dan sah.
KESIMPULAN
Dari paparan beberapa pendapat ulama
di atas dapat kita fahami bahwa akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang
sangat sakral dan merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan. Sehingga
Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang berhubungan
dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis). Pengertian
satu majlis terjadi perbedaan pendapat;
a.
Menurut Jumhur Ulama satu majlis
difahamkan dengan berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
b.
Menurut Hanafiyyah dan sebagian
kecil Syafi’iyyah memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara
kontekstual bukan fisik nyata para pihak. Selian itu antara ijab qabul harus
konytiyu dan tidak ada penghalang. Hal ini tanpa memandang secara fisik para
pihak hadir dalam majlis atau tidak, sebab menurut pendapat ini akad nikah
(ijab atau qabul) melalui surat diperbolehkan.
Selain ijab qabul, kesaksian dari
dua orang saksi juga merupakan syarat dari pernikahan, kecuali pendapat Imam
Malik. Adanya saksi harus benar-benar melihat dan mendengar langsung para pihak
melakukan ijab kabul. Pernikahan tidak sah apa bila saksi hanya mendengar suara
tanpa rupa dari para pihak, sebab kesaksian saksi yang demikian tidak dapat
menimbulkan keyakinan dalam dirinya. Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu Hajar
dari Ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika para saksi meyakini bahwa suara
(audio) atau gambar (visual) yang ia dengar dan lihat memang benar-benar dari
para pihak, maka kesaksiannya dapat dibenarkan dan pernikahannya sah.
Kemudian apabila
ditarik kepada pokok masalah hukum melakukan pernikahan via telekomference,
maka kami dapat menyimpulkan sebagai berikut;
a.
Pernikahan melalui telekomference
dalam kontek negara Indonesia tidak sah karena merujuk beberapa alasan;
1. Para pihak tidak hadir secara
fisik dalam satu majlis sebagaimana yang dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2. Alat
komunikasi seperti Telepon, HP, Email, dan Telekonference belum dapat
dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang di Indonesia untuk
memutuskan persengketaan hukum. Sebab keberadaan saksi mengandung hikmah tasyri’
yaitu menguatkan dan menetapkan suatu peristiwa yang terjadi apa bila nantinya
terjadi persengketaan. Alat elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum
bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan autentik. Sedangkan apa bila
merujuk pada pendapat Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi, juga
tidak dapat ditarik kesimpulan akad melalui media elektronik dapat dibenarkan,
sebab Malikiyyah meskipun tidak mensyaratkan adanya saksi, mereka mensyaratkan
adanya akad pernikahan dilakukan dalam satu majlis secara fisik.
b. Jika salah satu calon mempelai
berjauhan dan sulit untuk hadir, maka ada dua alternatif;
1. Membuat Surat. Ijab atau Qabul dapat dilakukan
melalui sepucuk surat bermaterai dan membacanya di depan para saksi. Hal ini
berpedoman kepada dua dasar; pertama, pendapat ulama Hanafiyyah dan sebagian
ulama Syafi’iyyah yang memperbolehkan ijab atau qabul memamakai surat. Kedua,
dalam kontek hukum negara Indonesia, surat yang bermaterai dapat dijadikan alat
bukti yang autentik.
2. Mengangkat Wakil. Calon mempelai yang ada di
kajauhan dapat mengangkat seorang wakil untuk melangsungkan ijab atau qabul,
tentunya perwakilan tersebut harus disertai surat mandat bermaterai. Hal ini
berdasarkan dua alasan; pertama, para ulama sepakat bahwa akad pernikahan (ijab
qabul) dapat diwakilkan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah SAW. Kedua, menurut Undang-undang Indonesia, perwakilan dengan
disertai surat mandat resmi (bermaterai) dapat dibenarkan dan mempunyai
kekuatan hukum.



Assalamu ‘alaikum Wr Wb.
Posting Komentar